Sebagai seorang perempuan yang telah menikah, mendapatkan kabar bahagia sebuah kehamilan merupakan impian setiap pernikahan. Menikah dan punya anak menjadi impian saya saat itu, yah tentu saja punya anak juga menjadi impian suami saya dan keluarganya. Impian menimang cucu pertama dari kami. Saya menikah pada tahun 2017, tepatnya pada tanggal 8 Januari 2017. Saat itu saya masih bekerja pada salah satu institusi pendidikan di Makassar dan suami mengabdi pada salah satu rumah sakit daerah di Kota Sorong. Saya tidak pernah menyangka akan berjodoh dengan teman sendiri sewaktu SMA. Sama-sama kelahiran Kota Sorong Papua, yang memaksa saya untuk segera kembali ke kota kelahiran setelah betah selama 10 tahun menjadi warga Kota Makassar. Setelah 6 bulan kami mengarungi kehidupan berumah tangga, akhirnya kabar gembira tentang kehamilan pun dating. Perasaan yang teramat sangat bahagia. Bagi kami kehadiran seorang anak adalah berkah luar biasa dari Tuhan. Saat itu saking bahagianya seolah tidak ada satupun kata yang mampu mewakili rasa bahagia kami. Hari demi hari kebahagiaan kami makin bertambah dengan isyarat dari alam rahim dengan gerakan-gerakannya yang aktif. Kenyataan bahwa ada kehidupan dalam rahim saya sendiri, membuat saya semakin mensyukuri nikmat dan besar kasih sayang-Nya. *** Akan tetapi, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama kami rasakan. Ketika memasuki trimester kedua dalam kehamilan, anak kami dinyatakan “meninggal” dalam kandungan pada usia 27 minggu. Karena saat USG tidak terdengar lagi bunyi detak jantung janin sebagai tanda kehidupan dari alam rahim. Air ketuban pecah dini karena merembes. Itulah diagnosa dokter terhadap penyebab kehilangan anak kami. Menurut dokter, air ketuban merembes dalam jumlah sedikit dan tidak terlalu sering memang hal yang normal. Namun, berkurangnya air ketuban dalam jumlah banyak akan menimbulkan risiko yang fatal bagi bunda dan janin yang ada di dalam kandungan. Air ketuban merembes atau bocor pada trimester pertama dan kedua dapat menyebabkan komplikasi serius, seperti keguguran, cacat lahir, lahir prematur, hingga yang paling fatal adalah kematian bayi. Sementara itu, kehilangan air ketuban dalam jumlah besar di masa trimester ketiga akan menyebabkan kesulitan selama proses persalinan. Kabar itu membuat duniaku runtuh dan hancur. Selama berhari-hari jiwa saya merasa sangat terguncang. Saya belum siap dengan “kehilangan” ini. Berbagai penolakan atas kejadian tersebut saya ajukan kepada Tuhan. Mengapa harus saya Tuhanku? Mengapa kau ambil kembali setelah kau memberinya? *** Saya benar-benar memberi signal penolakan, bahwa kenapa harus saya yang mendapatkan ujian “kehilangan”. Lalu kenapa juga saya dipaksa harus mengikhlaskan semuanya. Sementara bukan hanya sakit fisik yang saya derita, tetapi sakit secara psikologis juga saya rasakan. Karena harus melahirkan bayiku sendiri dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Keadaan memaksa saya harus melewati proses kehilangan dengan melihat ibu-ibu lain memposting bayi-bayi mereka yang lahir dengan selamat dan sehat pada laman sosial media. Saya harus melihat teman-teman dengan usia kehamilan yang sama dengan saya menikmati proses kehamilan mereka sampai bayi mereka lahir dengan selamat. Sungguh sebuah potret kebahagiaan yang tidak adil bagi saya. Ibrahim adalah nama yang kami beri kepadanya. Saya tidak pernah menyangka secepat itu saya kehilangan dirinya. Sebagai seorang ibu yang merasakan pengalaman reproduksi setiap bulannya, sangat berat bagi saya mengikhlaskan kepergiannya yang begitu cepat. Bahkan sejak saat itu, rasa baper saya meningkat. Saya sangat sering menangis, bahkan sering terbangun di tengah malam menangis sesegukan. *** Sepanjang tahun 2018 merupakan tahun yang berat bagi saya. Pengalaman kehilangan sosok “Ibrahim” yang belum sempat saya asuh dan asih merupakan jalan takdir yang saya harus terima dan lalui. Dari kehilangannya pun saya benar-benar belajar tentang ilmu ikhlas. Ilmu yang sangat berat untuk mampu mencapai maqomnya. Membaca dan mendengar ceramah dari para pemuka agama tentang keuntungan dan upah besar yang menanti bagi orang tua yang kehilangan anaknya sebelum memasuki usia baligh adalah sebuah kabar gembira dari Tuhan. Karena anak tersebut meninggal dalam keadaan masih suci. Mendengar akan hal itu segala penolakan yang saya tunjukkan di awal kehilangan Ibrahimakhirnya luluh. Saya belajar tentang arti kehilangan yang sesungguhnya. Bahwa benar, betapa kehilangan membuat kebahagiaan seketika menjadi lenyap. Betapa kehilangan mampu merubah keadaan suka menjadi duka. Tidak ada senyum di sana, tidak ada gelak tawa. Hanya gemuruh kesedihan yang saya rasakan. Namun, hikmah dan upah Allah SWT untuk orang tua yang bayinya meninggal, sangatlah besar dan itu adalah keberuntungan yang akan kami terima pada hari akhir nantinya. *** Seperti Nabi Daud yang ditinggal mati oleh putranya. Ketika berkesedihan beliau begitu mendalam dan Allah menanyakan kepadanya, “Wahai Daud, apa perumpamaan anak itu bagimu?” “Wahai Tuhanku, bagiku ia seperti butiran emas yang memenuhi bumi ini.” Kemudian Allah berfirman, “Di hari Kiamat kelak, engkau memiliki pahala di sisi-Ku setara dengan isi bumi ini.” Bagi mereka yang mungkin merasakan pengalaman yang sama dengan saya. Tentu bukanlah hal yang mudah. Namun anak-anak kita yang telah meninggal itu setidaknya mengajarkan kita sebuah “ilmu ikhlas”. Anakku Ibrahim telah mengajarkan saya tentang ilmu itu. Karena tidak ada rasa sedih yang lebih mendalam dari ditinggal oleh sang buah hati.
Skanaacom, jabar.jpnn.com, BANDUNG - Puluhan siswa SMP PGRI 6 Kota Bandung terpaksa harus menumpang sekolah di bangunan sekolah dasar karena tidak memiliki
Abu Hasan sangat heran dan terkejut ketika sedang menunaikan haji di Baitullah Makkah. Di saat thawaf, tiba-tiba ia melihat seorang wanita. Entah kenapa wajah wanita itu memancarkan wajah yang sangat bersinar. Abu Hasan pun terkesima, ia kagum. Bayangkan, di medan thawaf yang cukup keras untuk wanita, tapi ia tetap tersenyum. “Demi Allah, belum pernah aku melihat wajah secerah wanita itu. Apakah sebabnya? Mungkin itu karena ia tidak pernah risau dan bersedih hati,” gumam Abu Hasan. Gumaman Abu Hasan itu terdengar oleh wanita itu. Ia melirik sebentar kepada Abu Hasan. Seketika ia bertanya, “Apakah katamu, hai saudaraku? Demi Allah, aku tetap terbelenggu oleh perasaan duka cita dan luka hati karena risau. Dan kupikir, tidak seorangpun yang pernah mengalami musibah seberat ini.” Di tengah keterkejutannya karena gumamamnnya terdengar oleh wanita itu, dengan sedikit malu hati, Abu Hasan bertanya, “Apa yang merisaukanmu? Apa yang telah kaualami?” Wanita itu terdiam. Ada sedikit perubahan di wajahnya. Namun tetap tidak mengurangi ketenangan wajahnya. Ia menarik napas panjang dan sejurus kemudian ia menjawab, “Aku mengalami peristiwa yang sangat berat. Suatu hari suamiku sedang menyembelih kambing kurban. Aku sendiri tengah mengasuh anak-anak kami. Dua anak kami tengah bermain dan seorang lagi tengah menyusu di pangkuanku. “Ketika aku bangun untuk membuat makanan, tiba-tiba anakku yang agak besar berkata pada adiknya, hai adikku, sukakah aku tunjukan padamu bagaimana ayah menyembelih kambing?’ Adiknya menjawab, Baiklah kalau begitu.’ “Tanpa dinyana, disuruh adiknya berbaring. Kakaknya mungkin hanya melihat apa yang pernah dilakukan ayahnya pada kambing kurban. Dalam beberapa detik saja, tanpa bisa dicegah, disembelihnya leher adiknya itu-persis seperti apa yang dilihatnya. Peristiwa itu begitu saja terjadi. Anakku itu ketakutan sekali ketika melihat darah memancar keluar. Dengan cepat, ia berlari ke bukit. Ia tidak menyangka bahwa hal itu akan terjadi begitu mengerikan. Kami mencoba mengejarnya. Namun, belum juga ditemukan. Ternyata seekor srigala memangsanya sampai habis. Ia pun meninggal. “Suamiku pergi mencari anak kami itu. Berhari hari ia terus mencari dan mencari tak kenal lelah dan tak kenal waktu. Namun kemampuan manusia ada batasnya. Pada puncaknya ia mati kehausan. Betapa aku sangat terpukul. “Waktu itu, aku belum mengetahui apapun. Dan waktu aku keluar untuk mencari suamiku, tiba-taba bayiku merangkak menuju periuk yang berisi air panas. Baginya, periuk itu mugkin sejenis permainan yang menarik. Ditariknya periuk itu dan tumpahlah air panas mengguyur badannya. Semua kulitnya melepuh. Jika kaudengar tangisannya, kau tak akan sanggup. Ia pun meninggal beberapa waktu setelah itu. “Berita ini menyebar dan terdengar oleh anakku yang telah menikah dan jatuh pingsan. Saking tak kuatnya, ia pun meninggal. Dan kini, aku tinggal sebatang kara,” wanita itu mengakhiri ceritanya. Abu Hasan tertegun. Ia memandangi wanita itu sejenak. Bagaimana mungkin wanita itu bisa menghadapi musibah yang telah menimpanya sedemikian hebat? Lalu Abu Hasan bertanya, “Bagaimanakah kesabaranmu menghadapi semua musibah itu?” Wanita itu menjawab—kali ini barulah dengan wajah yang sedikit muram, “Tiada seorang pun yang dapat membedakan antara sabar dan mengeluh, melainkan ia menemukan di antara keduanya jalan yang berbeda. Adapun sabar dengan memperbaiki yang lahir, maka hal itu baik dan terpuji akibatnya. Dan mengeluh, maka orangnya tidak mendapat ganti, kecuali sia-sia belaka.” Abu Hasan tertegun sekali. Makin dalam Ia termenung. Ia tidak tahu apakah jika Ia mengalaminya, Abu Hasan akan sanggup mengahadapinya ataukah tidak. Wanita di hadapannya telah mengajarkan hal yang berbeda kepadanya ketika mendapat musibah. Bahwa musibah yang menimpa sesungguhnya merupakan ujian dari Allah swt. Apakah kita bisa menerimanya? Apakah kita menerimanya sebagai ujian hidup? Ataukah kita malah terkungkung? Wanita itu tetap tabah, wajahnya tetap cerah berseri-seri. Siapapun yang melihatnya tidak akan pernah menduga bahwa ia tengah dilanda musibah berat. Hatinya tidak gelisah. Walau Abu Hasan mengetahui sekali bahwa wanita itu tentunya sangat terpukul.
Oleh Rendy Setiawan* Masa kehidupan umat Islam yang terbaik adalah pada tiga generasi paling awal, yaitu masa nubuwwah dan sahabat, masa tabi’in, masa tabi’ut tabi’in. Yang dimaksud dengan masa nubuwwah adalah masa di mana Muhammad putra Abdullah diangkat menjadi nabi dan rasul oleh Allah ketika usia 40 tahun hingga beliau wafat pada usia 63 tahun. Kemudian masa sahabat, adalah masa di mana setiap orang yang hidup dan bertemu Rasulullah, kemudian mengimani apa yang dibawanya hingga ajal menjemputnya, maka selain yang ini, tidak masuk kategori sahabat. Masa tabi’in, adalah masa di mana setiap yang hidup dan bertemu sahabat nabi, kemudian mengimani apa yang disampaikan sahabat tentang ajaran Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Pun demikian dengan masa tabi’ut tabi’in. Inilah tiga masa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai masa terbaik umat ini. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah itu, kemudian generasi setelah itu.” Riwayat Bukhari Pernahkah terbetik dalam benak pikiran, ketika membandingkan manusia modern sekarang dengan generasi dahulu dalam Islam? Generasi salafusshalih, sebaik-baik generasi. Generasi yang langsung dibimbing dan dididik oleh Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam. Generasi pertama yang langsung menerima wahyu Al-Qur’an dari Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam. Sampai-sampai generasi salafussalih diabadikan dalam Al-Qur’an. Mereka memiliki karakter yang khas, karakter Qur’ani. Generasi salafussalih adalah generasi yang menyambut seruan Allah Ta’ala dengan seluruh jiwa raganya, tanpa ragu sedikitpun. Mereka tidak ragu terhadap perintah-perintah-Nya. Mereka beriltizam dengan perintah-perintah dan larangan-Nya. Mereka menerima Islam secara totalitas, tak ada yang dikurangi sedikitpun, khususnya ketika menjalankan furu’ cabang, terlebih yang bersifat ushul pokok. Allah Ta’ala, mengingatkan kepada manusia bahwa perhiasan dunia yang Allah berikan, berupa harta dan anak, merupakan kekayaan yang dapat dinikmati sepanjang kehidupan dunia. Sahabat nabi adalah kumpulan orang-orang kaya, namun mereka ikhlas meninggalkan kekayaan mereka, mereka ikhlas menyerahkan hartanya, seluruh yang mereka punya, mereka ikhlas untuk berjuang di jalan Allah. Salah satu generasi terbaik yang pernah ada di muka bumi. Sampai-sampai Rasulullah sendiri melarang umatnya menghina sekecil apapun keburukan sahabat, Rasulullah bersabda, “Jangan kalian hina sahabatku…” Hal ini karena peranan sahabat yang ikhlas membantu dakwah Rasulullah. Bisa jadi, di antara kita masih ada yang bertanya, Apa sebenarnya makna ikhlas itu? Jika ditinjau dari sisi bahasa berasal dari kata “kholasho” yaitu kata kerja intransitif yang artinya bersih, jernih, murni, suci, atau bisa juga diartikan tidak ternoda tidak terkena campuran. Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Ikhlas juga mengandung arti meniadakan segala penyakit hati, seperti syirik, riya, munafik, dan takabur dalam ibadah. Ibadah yang ikhlas adalah ibadah yang dilakukan semata-mata karena Allah Ta’ala. Ikhlas merupakan ilmu tertinggi yang diberikan Allah Ta’ala kepada umat manusia, dan jika ilmu ini diterapkan dalam setiap langkah kehidupan, Allah Ta’ala menjanjikan limpahan berkah kebaikan bagi kita. Seperti halnya rezeki, jatah rezeki kita semua sama. Yang membedakan pendapatan rezeki kita adalah kualitas hidup kita atau kesesuaian hidup kita dengan kehendak-Nya. Maka dari itu, penulis mengajak pembaca yang dirahmati Allah untuk melihat kembali, merenungi kisah-kisah sahabat, kisah Abu Bakar, kisah Umar, kisah Utsman bin Affan, kisah Abdurahman bin Auf, dan seluruh sahabat ridwanullah ta’ala lainnya bagaimana cara mereka ikhlas dalam meninggikan kalimat-kalimat Allah. Sebagai contoh, bagaimana Abu Bakar menginfaqkan seluruh hartanya untuk dakwah Islam. Ini tidak akan pernah terjadi apabila tidak memiliki iman yang kuat, iman yang menusuk ke dalam hati. Semua digunakan fi sabilillah. Harta yang dimiliki oleh Abu Bakar hampir seluruhnya di-infaqkan. Sampai-sampai Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam menegur Abu Bakar, “Apa yang engkau gunakan membiayai hidupanmu dan keluargamu, wahai Abu Bakar, sesudah seluruh hartamu engkau sedekahkan?” Abu Bakar dengan tegas mengatakan, “Aku masih mempunyai Allah dan Rasul-Nya.” Sikap Abu Bakar mendapatkan cemooh sebagian kalangan masyarakat Madinah, atas sikapnya yang menyedekahkan dan menginfaqkan hartanya itu. Abu Bakar sudah tidak lagi hatinya tertambat dengan harta dan segala hal yang terkait dengan dunia. Abu Bakar rela melepaskan harta dan seluruh kekayaan yang dimiliki demi agama Allah, yang diyakininya. Tak ada ragu lagi. Karena, seluruh jiwa dan raganya hanya diarahkan dalam mencari ridha dan kemuliaan dari Allah Ta’ala. Atas sikapnya itu, kemudian diabadikan dalam Al-Qur’an فَمَآ أُوتِيتُم مِّن شَىۡءٍ۬ فَمَتَـٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ خَيۡرٌ۬ وَأَبۡقَىٰ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَلَىٰ رَبِّہِمۡ يَتَوَكَّلُونَ ٣٦ Artinya “Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah keni’matan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal.” Qs. Asy-Syura [42] 36 Para sahabat, tidak sedikitpun memiliki keinginan menyelisihi. Ini karena ketaatan dan keikhlasan secara total dalam menjalani perintah-perintah Allah Ta’ala. Karena itu, seorang mukmin akan selalu mentaati batasan-batasan yang diberikan oleh Allah Ta’ala dalam menjalani hidup ini. Kesabaran dan keikhlasan orang-orang mukmin yang begitu luar biasa, dan terus memegang iman dan aqidahnya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, membuat mukmin, mengungguli semua jenis manusia. Inilah yang diisyarakatkan oleh Allah Ta’ala. Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah pernah mengatakan, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi penuh kantongnya dengan kerikil kecil. Memberatkannya tetapi tidak bermanfaat sama sekali.” Marilah kita berusaha meningkatkan ketaqwaan kepada Allah, menguatkan ketaatan kepada ulil amri yang berpegang teguh kepada Allah dan Rasul-Nya, menebalkan keikhlasan untuk berjuang dan berkorban dalam menegakkan serta menyiarkan dakwah Islam hingga Allah Ta’ala menurunkan karunia-Nya berupa kemenangan yang hakiki. Aamiin. R06/P1 Mi’raj Islamic News Agency MINA *Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam STAI Al-Fatah Cileungsi
. 305 53 168 243 394 379 329 216